Pages - Menu

Rabu, 26 Oktober 2011

Cerpen : SELEPAS KAU PERGI



Mataku terus memandangi foto-foto yang sengaja kuletakkan di meja belajarku. Dua wajah tersenyum gembira memandangku dari dalam bingkai foto. Dua wajah itu adalah diriku dan Rio, pacarku. Sesekali aku menengadahkan kepalaku ke langit-langit, agar genangan air mataku tidak tertumpah di pipi. Sedih rasanya mengenang  dia yang telah lama berada jauh dariku.
Berkali-kali aku menarik nafas dalam, agar rasa rinduku padanya tidak menyiksa batinku. Aku menatap matanya yang membeku dalam bingkai foto kesayanganku. Pikiranku pun melayang kemasa-masa bahagia itu. Masa-masa dimana dirinya masih ada dekat denganku. Dan aku pun terbawa masuk ke peristiwa masa laluku…

Empat tahun yang lalu, di pagi hari yang cerah, aku datang ke sekolah baruku dengan perasaan sangat bahagia. Akhirnya aku memasuki masa SMA, masa dimana persahabatan dan cinta memenuhi hari-hariku. Ketika memasuki kelas baruku, aku melihat seorang laki-laki duduk di meja guru. Laki-laki itu sedang asyik memainkan gitarnya sambil bersenandung kecil.
Aku mengumpulkan seluruh keberanianku, untuk menyapanya dan berkenalan dengannya. Aku pun melangkah mendekati laki-laki itu. Perasaanku begitu berdebar-debar, tidak sanggup membayangkan bagaimana wajahnya. Apakah tampan? Apakah dia akan tersenyum padaku? Apakah matanya akan memandang mataku? Dan semua pertanyaan itu terjawab sudah.
Laki-laki itu berhenti memainkan gitarnya, kemudian menatapku dalam ketika aku selesai mengucapkan “hai” kepadanya. Matanya coklat berbinar, wajahnya penuh dengan ketenangan, dia sangat tampan, dan dia tersenyum hangat kepadaku. Aku bisa merasakan wajahku memerah seketika. Laki-laki itu menjawab sapaanku dengan suara yang sangat menghangatkan.
“Hai… aku Rio. Kamu kelasnya disini?”
Sepersekian detik, aku hanya terdiam, tidak mampu mengatakan apa-apa. Lalu aku mendengar suaraku berkata,
”Iya... kamu juga disini? Aku Vivi.”
Dan setelah kata-kata itu keluar, perasaanku jauh lebih baik. Dan kami pun melanjutkan perbincangan kami sampai bel masuk berbunyi. Rasanya kami cocok... aku merasa tenang disampingnya, dan aku tahu kalau dia juga punya perasaan yang sama, karena perbincangan kami masih berlanjut sejak saat itu.

Aku terbangun dari lamunan indahku, dan mendapati diriku sedang tersenyum bahagia. Senyum yang selama ini hanya bisa kudapati bila mengenang masa-masaku bersamanya. Angin kencang dan suara deburan ombak masuk ke dalam kamarku melalui pintu balkon yang terbuka. Aku beranjak dari meja belajarku ke balkon kamarku. Pemandangan laut lepas menyambutku hangat, bebatuan di bawah balkon menghentikan ombak yang saling bertabrakan.
Mataku memandang ke sekeliling. Suasana yang seperti inilah yang selalu menemani hari-hariku yang sepi. Langit yang mulai menghitam di siang hari itu, menandakan bahwa hujan akan segera turun. Dan semua hal itu membuatku kembali mengingat ketika diriku dan dirinya tengah asyik bermain di tepian pantai.

”Vi... coba deh kamu lihat karang yang ada disana...” Celetuk Rio ketika kami sedang berada di pantai dekat rumahku.
”Oh... karang itu...” Kataku santai sambil memandangnya.
”Kamu pernah ke karang itu?” Tanya ringan.
”Belum... tapi aku pingin banget ke sana...”
Sejenak kami hanya saling diam. Deburan ombak yang menabrak karang-karang membuat suara yang sangat riuh. Angin laut menerbangkan rambutku yang tengah terurai indah. Rio tidak memandangku sekalipun meski aku terus menerus memandangnya. Dia sibuk melihat keindahan laut yang selama ini dia rindukan.
Tiba-tiba Rio bangkit dari duduknya dan berdiri menghadapku. Matanya yang coklat memandang mataku yang hitam. Jantungku berdebar sangat kencang, hampir tidak dapat kukendalikan.
”Aku pasti akan jadi orang pertama yang bawa kamu ke karang itu...” Suara Rio mengatasi riuhnya deburan ombak.
Wajahku memerah bahagia. Rasanya sudah seperti berada di langit ke-7, begitu bahagia hidupku hari itu. Rio masih menatapku dengan tatapannya yang penuh arti. Aku pun masih menatapnya dengan tatapan resah dan malu-malu. Selama beberapa detik kami hanya saling bertatapan, tapi entah mengapa sepertinya tatapan kami begitu bermakna. Lalu Rio memberikanku senyum indahnya, dan kemudian menggenggam tanganku yang dingin. Lagi-lagi aku tersipu malu, grogi dengan apa yang baru saja terjadi...
”Ayo kita pulang, jangan lama-lama disini, nanti kamu sakit lagi...” Katanya seraya menarik tanganku.
Dan kami pun pulang dengan bergandengan tangan. Menyusuri pantai yang damai dan indah, disertai gemuruh ombak dan angin laut. Sepanjang perjalanan, kami hanya diam dan sesekali bertatapan kembali.

Angin mulai terasa dingin dan aku pun kembali ke masa kini. Aku memegang tanganku erat-erat, seakan masih bisa merasakan genggamannya di tanganku. Tapi kemudian aku tersadar bahwa tidak ada dia yang menggengam tanganku. Dan aku pun menyadari bahwa aku hanya sendirian di tempat ini.
Aku menengadah ke langit yang mulai tertutup awan hitam. Tiba-tiba aku mendengar handphone berdering nyaring. Tanganku merogoh saku celanaku dan menarik keluar handphone. Nama Rio muncul di layar handphoneku. Seperti biasanya, aku pun menjawab telephone darinya.
“Halo...” Suaraku memecah kesunyian.
“Halo Vi... gimana kabar kamu?” Suara Rio yang tidak asing kudengar mengisi telingaku.
”Aku baik kok. Kamu gimana?” Tanyaku dengan nada yang sedikit bahagia.
”Aku baik juga kok Vi. Kamu lagi dimana?”
”Hmm... aku ada di rumah sekarang. Rio, kapan kamu mau pulang ke Bali?”
“Pulang ke Bali?” Suara Rio mengecil.
“Iya... pulang ke Bali. Kamu kan janji mau pulang setelah 1 tahun ada di Jakarta..” Aku mulai tidak senang. Selama ini Rio selalu berkelit sedang sibuk jika aku menanyakan rencana kepulangannya. Dia tidak pernah mau menjawab kapan pastinya dia akan pulang dan menemaniku kembali di sini.
Rio diam tanpa kata. Keheningan di telephone membuatku semakin merasa tidak senang.
”Kamu nggak bisa pulang lagi?” Kataku tidak sabar.
”Vi... aku pingin banget pulang, tapi...”
”Tapi apa?” Aku memutus kata-katanya.
”Tapi aku nggak bisa.” Kata-kata Rio terdengar sendu dan memelas.
”Tapi kamu janji mau pulang satu tahun sekali?!”
”Iya... tapi kan aku masih harus kuliah... lagian aku masih sering telephone kamu...”
”Kuliah terus yang jadi alasan kamu! Kamu memang telephone aku, tapi itu nggak membantu sama sekali!” Amarahku meledak. Air mataku mulai menetes perlahan di pipiku dan bibirku bergetar menahan amarah yang sudah kupendam sejak dulu.
”Kenapa nggak membantu? Paling nggak kan kamu masih bisa tahu keadaan aku...” Rio berusaha menenangkanku dengan nada suaranya yang datar.
”Setiap kamu telephone aku, kita cuma bertengkar! Itu nggak membantu sama sekali Rio... kamu nggak pernah nunjukin ke aku bahwa kamu pasti pulang ke Bali! Kamu ninggalin aku!”
“Kita berantem karena kamu selalu nyuruh aku pulang!” Rio mulai naik pitam juga.
”Aku nyuruh kamu pulang karena aku nggak tahan kamu tinggal jauh-jauh kayak gini...” Kata-kataku mulai terbata-bata. Pipiku mulai panas karena rasa sedih dan amarah yang bercampur menjadi satu.
”Oh... jadi kamu nggak tahan aku tinggal pergi jauh?!” Nada suara Rio semakin meninggi.
“Kamu nggak pernah ngerti apa-apa tentang perasaan aku...” Aku mencoba menahan tangisanku. “Kamu nggak pernah sadarkan, kalau hampir tiap detik aku pingin kamu ada disini...” Aku menarik nafas dalam-dalam. “Kamu nggak ngertikan kalau aku sangat kehilangan kamu???” Tetesan air mata yang mulai deras semakin membasahi pipiku. “Kamu nggak tahu apa-apa kan?! Kamu nggak ngerti apa-apa?!” Tangisanku pecah dan tubuhku terduduk lesu di tepi balkon kamarku.
Aku sudah tidak bisa mengendalikan diriku. Aku terus menangis tanpa peduli apa yang Rio katakan padaku. Aku tidak peduli lagi dengan kata-kata penghiburan dan janji-janji palsu yang dikatakan padaku. aku sangat tidak peduli! Dengan cepat aku mematikan sambungan telephoneku dengannya, lalu menarik keluar baterai handphoneku dan membuangnya jauh-jauh dari hadapanku.
Ditengah isak tangisku yang memenuhi balkon kamarku, pikiranku mulai kembali ke hari itu... dan aku pun mulai berfikir, seandainya hari itu tidak pernah terjadi...

Sebuah surat beramplop warna biru tergeletak di atas tas punggungku. Aku mengambilnya sambil terus bertanya-tanya dari siapakah surat itu. Di amplop itu tertuliskan Dear, Viviani Terra Yunita, berarti itu untukku. Tanpa menunggu lama, aku segera membuka amplop itu. Secarik surat dengan kertas berwarna biru langit terlipat dengan indah dan rapih. Setelah kubuka, tulisan yang sama seperti yang ada di amplop menyambutku...

Dear, Viviani...
Vi,, lewat suarat ini, aku mau kamu tahu kalau aku sayang sama kamu... aku nggak pernah berani ngomong langsung tentang perasaanku ini ke kamu. Aku nggak pernah berani dan nggak akan pernah berani ngomong langsung ke kamu. Aku cuma takut kamu nggak punya perasaan yang sama kayak perasaanku.
Vi,,  aku pingin kamu mengisi hari-hariku. Aku pingin kamu ada disisiku lebih daripada sekedar teman dekatmu, lebih dari sekedar orang yang kamu anggap sebagai sahabatmu...
Aku nggak akan pernah mampu kehilangan kamu.. aku nggak akan pernah mampu menghentikan diriku mencintaimu.... Aku sayang kamu Viviani. Aku sangat sayang sama kamu.
Yang mau aku tanyaain, cuma apakah  kamu maukan jadi pacar aku??
Kamu bisa pikir-pikir dulu. Kalau kamu udah siap buat jawab, aku selalu ada menunggu kamu di meja nomor 4, di caffe sekolah kita...
With love,
                     Rio Ayistra Dewangga

Aku tidak mampu berkata apa-apa. Surat yang adalah surat cinta ternyata ditulis oleh Rio, orang yang selama ini aku suka. Tapi sejenak aku ragu akan perasaanku. Aku mulai berfikir ke depan tentang bagaimana bila aku melanjutkan hubunganku dengannya, ke tahap yang lebih dari sahabat. Aku berfikir bagaimana rekasi orangtuaku, teman-temanku, aku juga berfikir apakah menyandangan status pacaran membuatku tetap konsen belajar, dan pikiran-pikiran lain yang juga menghantuiku.
Setelah berfikir cukup lama, aku tidak menemukan halangan apa pun yang akan mempersulit hubungan kami, semua tanpak lancar-lancar saja. Orangtuaku tidak melarangku untuk berpacaran, teman-temanku tidak akan mencegahku melakukan apa yang membuatku bahagia. Tentang konsen dalam belajar, aku selalu bisa mengendalikan diriku untuk tetap fokus dalam pelajaran. Jadi, kuputuskan untuk menerima Rio sebagai pacarku. Dan sebenarnya memang itu yang aku ingini.
Aku berlari ke luar kelas dengan penuh semangat. Surat dari Rio masih ada ditanganku, melambai-lambai riang seiring dengan langkah kakiku. Sesekali aku mengucapkan permisi ketika segerombolan murid menutupi jalanku. Kadang ada bapak ibu guru yang harus aku beri salam ketika aku melewati mereka. Meskipun begitu, aku tidak sekalipun memperlambat lariku.
Pintu caffe sekolah mulai terlihat. Bergegas aku mempercepat langkahku, tapi sayang... bel sudah berbunyi nyaring tanda waktu istirahat telah selesai. Tepat dengan bunyi bel itu aku bertabrakan dengan Rio yang (juga dengan berlari) keluar dari pintu caffe. Kami berdua terjatuh di lantai sehingga menghalangi beberapa anak yang mau keluar dari caffe.
Sambil merintih kesakitan, aku mencoba berdiri. Rio yang tidak sengaja menabrakku sudah berdiri lebih dulu dan kemudian membantuku berdiri...
”Rio...” Kataku sambil terengah-engah.
”Bicaranya sambil jalan ke kelas aja. Udah bel nih...” Kata Rio datar sambil mengajaku berjalan di sampingnya.
”Rio..” Kataku lagi setelah beberapa langkah dari pintu caffe.
”Kenapa? Kamu mau jawab suratku?” Rio tampak sedikit malu-malu.
”Iya...” Aku memandang wajah Rio yang ternyata memerah.
”Oh... jawabannya apa?”
”Hmm... aku mau kok...” Kataku sambil terus berjalan ke depan.
”Beneran?” Tanya Rio masih tidak percaya dengan jawaban yang aku berikan.
”Iya..” Aku memandangnya sambil tersenyum ramah.
Tidak terasa kami sudah sampai ke kelas. Dengan cepat aku kembali ke tempat dudukku, dan Rio pun melakukan hal yang sama denganku...

Bukan tetesan air mata yang membuatku terbangun dari lamunanku kali ini dan menarikku kembali ke masa kini, tetesan hujanlah yang melakukannya. Hujan mulai turun rintik-rintik, membasahi lantai balkon yang mulai mendingin. Tapi aku masih belum mampu mengangkat diriku menjauh dari tetesan hujan yang semakin deras. Aku masih lemas dan tidak berdaya. Seluruh tenagaku rasanya sudah terkuras habis karena rasa rindu dan sakit di hatiku.
Isak tangis masih saja terdengar dari bibirku yang mulai membiru. Semua hal tentangnya membuatku merasa begitu kehilangan dan terluka. Aku masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya tidak lagi ada di dekatku. Aku memeluk diriku erat-erat, berusaha membangun semangat dan harapan bagi diriku, tapi semuanya itu terasa sia-sia. Entah mengapa, aku sudah tidak lagi mempercayai Rio, aku sudah tidak bisa mengharapkannya kembali. Aku sudah merasa putus asa dan hampa...
Angin terasa lebih dingin dari sebelumnya, gemuruh ombak pun semakin terdengar mengerikan. Mula-mula rambutku mulai basah, tapi kemudian bajuku dan celanaku basah terkena hujan. Aroma hujan yang basah mengingatkanku pada saat-saat dimana aku merasa kehilangan untuk yang pertama kalinya dalam hidupku ini...

            Hujan deras mengiringi perjalananku ke bandara. Air hujan menutupi kaca mobil yang kukendarai kali itu. Aku gemetar bukan karena kedinginan tapi karena ketakutan yang begitu hebat. Semalam aku menerima telephone dari Rio. Secara tiba-tiba dia memberitahuku bahwa dia akan segera berangkat ke Jakarta untuk berkuliah disana. Rasanya hancur seketika seluruh hatiku. Aku masih belum bisa menerima dirinya pergi dari hadapanku walau hanya sesaat. Semua ketakutan itu menghantuiku hingga saat ini, aku hanya berharap bahwa semuanya hanya tipuan semata.
            Beberapa menit kemudian aku sudah sampai di bandara yang kutuju. Aku keluar dari mobilku dan merasakan tetas hujan membasahi tubuhku. Aku membiarkan hujan membuat wajahku basah, agar air mata di pipiku bisa tersamarkan. Aku melangkah masuk ke bandara dengan langkah gontai.
”Vi..” Panggil Rio dari kejauhan.
            Aku mendekatinya, sambil sesekali mengusap air mataku. Bayang-banyang Rio di kejauhan membuatku semakin merasa kacau dan ketakutan. Aku benar-benar tidak ingin melepasnya pergi.
            “Vi...” Suara Rio terdengar dekat di telingaku.
            Aku tidak berani mengarahkan mataku untuk menatapnya. Yang aku lakukan hanya menunduk, memandangi koper-koper yang sudah disiapkannya. Memandang koper-koper itu membuatku semakin menyadari bahwa semua ini benar-benar terjadi, bukan sebuh tipuan! Aku semakin down, putus asa dan kehilangan semua keceriaanku selama ini.
            “Vi... aku pergi ya...” Katanya pelan sambil mengelus rambutku yang basah secara perlahan.
            Aku membenci saat-saat seperti ini. Aku benci dengan kata-kata perpisahan!
            ”Aku pergi ya... aku janji aku pasti pulang lagi ke sini.”
            Aku tidak mengatakan apa pun. Rasanya seperti Tuhan sedang mengeluarkan hatiku dari dalam tubuhku, sakit tak tertahankan... dan beberapa saat kemudian, aku merasa tangan Rio yang tadi membelai rambutku menghilang begitu saja. Aku mendengar langkah Rio menjauh dari diriku, diikuti lenyapnya koper-koper dari pandanganku..
Dia sudah pergi... dan aku hanya tertunduk sambil menangis, tanpa mampu memintanya tetap disini. Aku benar-benar tidak sanggup, sungguh tidak sanggup. Namun aku terus meyakinkan diriku bahwa seuatu saat Rio akan kembali untukku. Tidak akan lama semua perpisahan ini... aku yakin itu...

            Petir dan gemuruh mulai saling bersahutan. Hujan sudah mencapai batas keganasannya ketika aku mulai berhenti memikirkan semua kenanganku dengannya. Aku membawa diriku kembali ke dalam kamarku dalam keadaan sangat basah kuyup dan mata yang memerah karena terus meneteskan air mata.
Dengan perasaan kacau, aku terduduk di atas tempat tidurku. Hampa sudah hidupku dan selesailah sudah semua perasaan cintaku. Tercabik-cabik oleh jarak yang memisahkanku dengannya. Ingin rasanya aku bertahan dengan semua ini, tapi hati ini tidak pernah sanggup membendung rindu yang menggoreskan luka. Aku harus membuat keputusan...
            Aku melangkah ke sudut kamarku. Ada sebuah kotak kayu tua yang berisi semua kenanganku dengan Rio. Kunci kotak itu masih tergantung di gemboknya, selalu sedia kapan pun jika aku mau membukannya dan mengenang masa-masaku dengannya. Aku berjongkok untuk menggapai kunci itu dan secara perlahan aku membuka kotak tua itu.
            Lembaran-lembarar fotoku dan dia, tersimpan manis di dalamnya. Aku mengambilnya satu persatu... ada fotoku dan fotonya ketika hari ulangtahunku yang ke-16, foto kami ketika malam prom night, foto Rio ketika sedang bermain di pantai, foto kami ketika mengenakan seragam sekolah, dan foto-foto lain yang selalu membuatku teriangat akan masa-masa bahagiaku dengannya.
Sebuah kalung bertuliskan RIO-VIVI juga ada di dalamnnya. Kalung itu diberikan sebagai hadiah satu tahun hubungan kami. Selama ini aku tidak pernah memakainya karena talinya yang mulai usang dan rusak. Aku hanya takut kalau-kalau kalung itu jatuh di sebuah tempat dan hilang. Karena itulah aku hanya menyimpannya di dalam kotak tua ini.
Hadiah-hadiah darinya juga masih tersimpan dengan baik. Boneka beruang yang diberikannya ketika aku berulangtahun ke-16, baju couple yang dihadiakan padaku ketika hari valentine tiba. Miniatur kota bersaju di dalam gelas kaca sebagai oleh-oleh setelah dia berlibur ke Singapura selama 3 hari. Bunga mawar plastik yang dia berikan dua hari setelah kami jadian. Sebuah harmonika cantik sebagai hadiah ulangtahunku ke-17. Bahkan hadiah terakhir darinya, yaitu sebuah buku diary yang dia kirim dari Jakarta masih tersimpan rapih di kotak tua itu. Sebuah kotak musik yang cantik tergeletak di sudut peti. Kotak musik itu yang selama ini menemaniku ketika aku merasa sendirian. Aku mendapatkannya ketika kami sedang berjalan-jalan di toko, dan dia menawarkan untuk membelikan aku kotak musik itu.
Aku menghela nafas dalam-dalam. Semua barang yang ada di dalam kotak tua itu membuatku semakin merindukannya. Aku memang ingin mengenang masa-masa indahku bersamanya, tapi saat ini, bagiku mengenang semuanya itu hanya membuatku terluka semakin dalam.
Sejenak berfikir, aku pun segera beranjak ke meja belajarku, mengambil foto-fotoku yang kutaruh disana. Lalu dengan cepat kulemparkan ke dalam kotak tua itu. Kemudian aku membuka laciku dan mengambil surat-surat darinya bahkan surat cintaku darinya, lalu membuangnya ke dalam kotak tua. Tanpa membuang waktu, aku menutup lalu mengunci kotak kayu tua itu dan membuang kuncinya ke luar jendela. Lalu dengan sisa-sisa tenagaku, aku menggeret kotak tua itu ke balkon kamarku.
Tetesan hujan mulai membasahi kotak tua tersebut, tapi aku enggan memperdulikannya. Aku mengangkat kotak tua itu tinggi-tinggi, lalu melemparkannya ke bawah. Aku melihat bagaimana kotak itu jatuh ke bebatuan yang ada di bawah balkon dan pecah menjadi berkeping-keping. Semua isinya berantakan dan seketika menjadi basah. Aku memandangnya puas, seakan-akan aku telah melepaskan beban berat dari pundakku.
Semua lembaran fotoku dan dirinya, tertiup angin ke lautan, lalu hilang tenggelam di dalam air laut yang berwarna kelabu. Bingkai foto yang tadinya ada di meja belajarku, kini pecah berantakan dan foto yang didalamnya basah karena hujan. Semua hadiah yang dia berikan menjadi basah, kotor, dan akhirnya rusak. Bahkan kotak musik yang selama ini menjadi penghiburku pecah berkeping-keping.
            Aku kembali ke dalam kamarku, menutup pintu balkonku keras-keras. Dengan nafas lega dan ringan aku mengambil secarik kertas dan sebuah bolpoint. Lalu aku duduk di depan meja belajarku, dan mulai menulis...
           
Kututup kisah cintaku dengannya... Kusudahi semua rasa perih karena terpisah oleh jarak dengannya. Kini aku bersiap untuk memulai kembali kehidupanku yang baru. Kehidupan tanpa adanya Rio difikiran dan hatiku.... aku akan mencoba menghapusnya secara perlahan dari benakku, karena aku tahu sudah tidak akan ada lagi harapanku dengan dirinya...

-SELESAI-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar