Pages - Menu

Minggu, 12 Oktober 2014

PBL Blok 15: Lepra (Morbus Hansen)


Pendahuluan
Lepra atau yang lebih dikenal oleh masyarakat umum sebagai Kusta adalah penyakit tertua yang sudah ada sejak sebelum Masehi. Kusta sendiri berasal dari bahasa India, “kustha”. Kusta merupakan suatu penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya adalah Myobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan daraf pusat. Penyakit Kusta bukan hanya memperburuk estetika seseorang tetapi juga dapat menyebabkan seseorang dikucilkan dari lingkungannya. Di Indonesia sendiri kasus Kusta masih cukup banyak dan masih dapat ditemukan di beberapa wilayah seperti di Maluku, Papua, dan juga di Pulau Jawa.1
Dalam PBL kali ini, terdapat kasus mengenai seorang laki-laki berusia 40 tahun yang datang ke poliklinik dengan keluhan berupa bercak putuh pada lengan kiri sejak satu bulan, namun tidak merasa gatal. Berdasarkan kasus tersebut, pada makalah kali ini akan dijelaskan lebih lengkap mengenai Lepra atau Kusta. Semoga makalah kali ini dapat membantu mahasiswa FK Universitas Kristen Krida Wacana lebih memahami lagi materi yang terkait dengan kasus diatas.

Pembahasan
Anamnesis
Anamnesis yang akurat sangat vital dalam menegakkan diagnosis yang tepat pada kondisi-kondisi yang mengenai kulit. Keluhan utama tersering diantaranya adalah ruam, gatal, bengkak, ulkus, perubahan warna kulit dan pengamatan tak sengaja saat pasien datang dengan keluhan utama kondisi medis lain. Anamnesis dapat dilakukan kepada pasien secara langsung apabila kondisinya memungkinkan, namun dapat ditanyakan pula pada orang terdekat atau orang yang mengantar pasien ke dokter. Sesuai dengan kasus, pertanyaan yang diajukan dapat meliputi identitas diri, keluhan utama, sejak kapan keluhan utama muncul, keluhan lain yang mungkin dirasakan, riwayat penyakit yang diderita saat ini, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, pengobatan yang sudah dilakukan dan kondisi sosial ekonomi pasien.
Pertanyaan-pertanyaan yang dapat ditanyakan saat menanyakan keluhan lain yang berhubungan dengan kasus ini adalah: “Apakah ada sisik?”. Sementara pertanyaan-pertanyaan yang dapat ditanyakan saat menanyakan riwayat penyakit dahulu adalah: “Pernahkah Anda mengalami keluhan serupa?”, “Apakah ada riwayat alergi” dan “Apakah Anda menderita Diabetes Melitus?”. Pada riwayat keluarga dapat ditanyakan: “Apakah ada keluarga atau orang yang tinggal serumah, yang mengalami keluhan yang sama?”. Perlu juga ditanyakan “Bagaimana kondisi tempat tinggal Anda?”, “Bagaimana kebiasaan mandi Anda?” dan “Seberapa sering Anda berganti baju atau pakaian dalam” untuk melengkapi info mengenai riwayat sosial dan kebiasaan pasien.
Didapatkan hasil anamnesis sebagai berikut:
Usia                                                          : 40thn
Keluhan Utama                                          : Bercak putih pada lengan kiri sejak satu
  bulan yang lalu
Keluhan Lain                                             : Tidak ada rasa gatal, terasa baal         

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan tanda-tanda vital, inspeksi, pemeriksaan sensibilitas, pemeriksaan saraf tepi, dan pemeriksaan fungsi saraf otonom. Untuk melakukan inspeksi, alat bantu yang dapat dipergunakan adalah kaca pembesar. Pemeriksaan ini mutlak dilakukan dalam ruangan yang terang. Pada inspeksi diperhatikan lokalisasi, warna, bentuk, ukuran, penyebaran, batas, dan efloresensi yang khusus.1 Pada penderita lepra akan didapatkan gambaran makula hipopigmentasi yang juga mengalami achromia (tidak ada pigmen), anestesia (tanpa rasa gatal), atrofi (kulit agak mencekung), alopesia (tanpa rambut), dan anhidrosis (tidak berkeringat).
Selain itu, pasien juga diminta memejamkan mata, menggerakan mulut, bersiul dan tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah, dikarena penyakit kusta dapat menyebabkan kerusakan saraf.2 Pemeriksaan berikutnya adalah melakukan pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan kapas atau bulu untuk mengetes rasa raba, jarum pentul jarum pentul yang tajam dan tumpul untuk mengetes rasa nyeri, serta air panas dan dingin dalam tabung reaksi unuk mengetes rasa suhu.2
Pemeriksaan saraf tepi dilakukan pada n.facialis, n.auricularis magnus, n.ulnaris, n.radialis, n.medianus, n.peroneus dan n.tibialis posterior. Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan dan adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak saat saraf diraba. Terakhir, perlu dilakukan pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu memeriksa ada tidaknya kekeringan pada lesi akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan menggunakan pensil tinta (uji Gunawan).2
Dari hasil pemeriksaan didapatkan:
Tanda-tanda vital               : Normal
Inspeksi                             : Makula hipopigmentasi (becak putih)
Pemeriksaan Sensibilitas    : Baal

 Pemeriksaan Penunjang1
1.      Pemeriksaan Bakterioskopik (Kerokan Jaringan Kulit)
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap bakteri tahan asam, antara lain dengan Ziehl Neelsen. Pemeriksaan bakteri negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung M. leprae.
Pertama-tama kita harus memilih tempat-tempat di kulit yang diharapkan paling padat oleh bakteri, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Untuk pemeriksaan rutin biasanya diambil dari minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 tempat lain yang paling aktif, berarti yang paling merah di kulit dan infiltratif.
Kepadatan M. leprae tanpa membedakan solid atau nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan Indek Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley. Seperti tertera di bawah ini:
0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP
2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP
3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 100LP
4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5+ bila 101-1000 BTA dalam 1 LP
6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

2.      Pemeriksaan Histopatologi
Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal, yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati pula adanya sel Vinrchow dengan banyak kuman. Pada tipe borderline, terdapat campuran unsur-unsur tersebut.

3.      Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi antiphenolic glycoplipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Macam-macam pemeriksaan serologik kusta yang dapat dilakukan adalah: tes FLA-ABS, tes ELISA, dan tes MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination).

4.      Pemeriksaan Tes Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis, berguna untuk menunjukan sistem imun penderita terhadap M.leprae. 0,1 ml lepromin, dipersiapkan dari extraks basil oganisme untuk kemudian disuntikan intradermal. Kemudian dibaca pada setelah 48 jam atau 2 hari (reaksi fernandez), dapat juga ditunggu hingga 3-4 minggu (rekasi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukan kalau penderita bereaksi terhadap M.leprae, yaitu memberikan respon imun tipe lambat. Sementara itu, Reaksi Mitsuda bernilai seperti dibawah ini:
0        : Papul berdiameter 3mm atau kurang
+1  : Papul berdiameter 4-6mm
+2  : Papul berdiameter 7-10mm
+3  : Papul berdiameter lebih dari 10mm



Differential Diagnosis
1.      Hipopigmentasi Post Inflamasi3
Hipopigmentasi post inflamasi adalah hilangnya sebagian atau keseluruhan dari pigmentasi kulit yang terjadi setelah peradangan kulit. Distribusi dan keparahan hilangnya pigmen berkaitan dengan tingkat dan derajar peradangan yang jeradi sebelumnya. Banyak kondisi peradangan kulit yang dapat menyebabkan hipopigmentasi post inflamasi. Misalnya saja seperi pityriasis licchenoides chronica (PLC) dan Lichen striatus (LS). Selain dari itu, trauma akibat luka bakar juga dapat menyebabkan hipopigmentasi post inflamasi.
Ukuran dan bentuk lesi hipopigmentasi post inflamasi berkorelasi dengan distibusi dan konfigurasi inflamasi awal. Perubahan pigmen kadang-kadang berdampingan dengan lesi inflamasi yang asli, hal ini membuat diagnosis lebih mudah. Gambaran yang dapat ditemukan berupa bercak berwarna putih atau berwarna lebih terang dari warna aslinya, yang terlihat pada daerah bekas inflamasi atau trauma.

2.      Leucoderma (Vitiligo)4
Leucoderma atau yang dalam dunia medis dikenal sebagai Vitiligo adalah kelainan kulit kronis yang menyebabkan depigmentasi kulit. Hal ini menyebabkan perubahan warna pada bagian kulit yang disebabkan penurunan bertahap melanin dari lapiran dermal atau dikarenakan kerusakan fungsi dari sel-sel melanosit. Awalnya penderita mungkin tidak menyadari atau mengabaikan perubahan warna karena hanya bercak putih sedikit saja, tapi seiring denan berjalannya waktu, perubahan warna mulai membesar dan bahkan bertambah banyak. Depigmentasi kulit biasanya terjadi di dekat mulut, mata, hidung, jari, kuku, alat keelamin dan umbilikus. Michael Jackson adalah salah satu penderita Leucorma (Vitiligo).
Tanda-tanda klinis yang dapat dilihat adalah timbulnya bercak putih pada kulit yang makin lama makin membesar, rambut beruban lebih awal, kehilangan rambut, rambut di bagian yang terdapat becak berubah menjadi putih, peka terhadap dingin, dan pasien mungkin sering menderita perubahan suasana hati atau depresi. Penyebab umum leucoderma bisa disebabkan penyakit lambung kronis atau akut, kekurangan kalsium, kondisi kulit inflamasi, luka bakar, stres yang berlebihan, penurunan fungsi hati, mengenakan pakaian ketat, mengenakan sarung tangan ketat, atau menggunakan tato pada kulit.


3.      Pitiriasis Versikolor1
Pitiriasis versikolor atau tinea versikolor disebabkan Malassezia furfur adalah penyakit jamur superfisial yang kronik, biasanya tidak memberikan keluhan subyektif, berupa bercak berskuama halus yang berwarna putih sampai coklat hitam, terutama meliputi badan dan kadang-kadang dapat menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala yang berambut. Orang awam biasa menyebutnya dengan panu.
Kelainan kulit pitiriasis versikolor sangat superfisial dan ditemukan terutama di badan. Kelainan ini terlihat sebagai bercak-bercak berwarna-warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus. Bercak-bercak tersebut berfluoresensi bila dilihat dengan lampu Wood. Bentuk papulo-vesikular dapat terlihat walaupun jarang. Kelainan biasanya asimtomatik sehingga adakalanya penderita tidak mengetahui bahwa ia berpenyakit tersebut.
Kadang-kadang penderita dapat merasakan gatal ringan, yang merupakan alasan berobat. Pseudoakromia, akibat tidak terkena sinar matahari atau kemungkinan pengaruh toksis jamur terhadap pembentukan pigmen, sering dikeluhkan penderita. Penyakit ini sering dilihat pada remaja, walaupun anak-anak dan orang dewasa tua tidak luput dari infeksi. Menurut Burke (1961) ada beberapa faktor mempengaruhi infeksi, yaitu faktor herediter, penderita yang sakit kronik atau yang mendapat pengobatan steroid dan malnutrisi.

4.      Pitiriasis Alba1
Pitirasis Alba adalah bentuk dermatitis yang tidak spesifik dan belum diketahui penyebabnya. Ditandai dengan adanya bercak kemerahan dan skuama halus yang akan menghilang serta meninggalkan area yang depigmentasi. Pitiriasis alba sering dijumpai pada anak berumur 3-16 tahun (30-40%). Wanita dan pria sama banyak.
Lesi berbentuk bulat, oval atau plakat yang tak teratur. Warna merah muda atau sesuai warna kulit dengan skuama halus. Setelah eritema menghilang, lesi yang dijumpai hanya depigmentasi dengan skuama halus. Pada stadium ini penderita datang berobat terutama pada orang dengan kulit berwarna.
Bercak biasanya multipel 4 sampai 20 dengan diameter antara ½-2 cm. Pada anak-anak lokasi kelainan pada muka (50-60%), paling sering disekitar mulut, dagu, pipi, serta dahi. Lesi dapat dijumpai pada ekstremitas dan badan. Dapat simetris pada bokong, paha atas, punggung, dan ekstensor lengan, tanpa keluhan. Lesi umumnya menetap, terlihat sebagai leukoderma setelah skuama menghilang.

5.      Tinea Corporis1
Merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut. Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri dari eritema, skuama, kadang-kadang dengan visikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang, kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi biasanya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain, dapat juga terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggran yang polisiklik.
Bentuk dengan tanda radang yang lebih nyata, lebih sering terihat pada anak-anak dari pada orang dewasa karena umumnya mereka baru mendapatkan infeksi pertama kali. Pada tine corporis yang menahun, tanda radang mendadak biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh.

Working Diagnosis
Working Diagnosis yang diambil adalah lepra atau kusta atau morbus Hansen.  Diagnosis ini dapat diambil atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang serta adanya gejala klinis yang sesuai, yaitu: didapati lesi makula hipopigmentasi yang tidak gatal, namun pada bagiaan lesi terasa baal.

5.1  Epidemiologi
Kusta merupakan penyakit infeksi yang saat masih tinggi prevalensinya terutama di negara berkembang. Kusta merupakan penyakit yang bersifat endemik diseluruh dunia kecuali Antartika. Di Amerika hanya Kanada dan Chili yang tidak pernah ditemukan endemik dari kusta. Di bagian Selatan Eropa hanya ditemukan sedikit kasus dari kusta. Angka kejadi tertinggi kasus kusta terdapat dibagian pulau Pasifik, seperti India. India merupakan negara kedua yang memiliki angka tertinggi dari kusta.
Kasus lepra atau kusta secara mendunia menurun sekitar 90% selama kurun waktu 20 tahun ini karena adanya program kesehatan. Dari data WHO menyatakan ada 220.000 kasus pada tahun 2006. Kebanyakan pasien terinfeksi saat masih kecil dimana penderita tinggal bersama penderita kusta. Penderita kusta pada anak-anak baik laki-laki atau perempuan sama besarnya, namun pada orang dewasa pria lebih sering terkena kusta.
Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun, didapatkan ± 11,39% tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan penderita dibawah usia 1 tahun penting dilakukan untuk di cari kemungkinan ada tidaknya kusta konginetal. Frekuensi tertinggi kusta terdapat pada orang dengan usia 25-35 tahun. Data penelitian semakin rendah sosial ekonominya maka akan semakin berat penyakitnya, sebaliknya semakin tinggi keadaan sosial ekonomi masyarakat maka akan semakin membantu penyembuhan. Selain itu dari penelitian ada perbedaan reaksi infeksi M leprae yang mengakibatkan gambaran klinis di berbagai suku bangsa. Hal ini diduga disebabkan faktor genetik yang berbeda.

5.2  Etiologi
Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat di biakkan dalam media artifisial. M. leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 µm x 0,5 µm, tahan asam dan alkohol serta positif-Gram.1

5.3  Patofisologi1
Sebenarnya M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.
Setelah M. leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat system imunitas seluler (cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang ke arah lepromatosa.

M. leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vasularisasi yang sedikit. Sumber penularan adalah melalui kontak langsung yang berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Dapat juga menular melalui mukosa hidung, tempat tidur, pakaian, dan ada kemungkinan dikarenakan gigitan serangga.
Seperti yang telah disinggung diatas bahwa kondisi imun seseorang dapat menentukan bentuk gejala yang nantinya akan diderita. Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas berbaai tipe atau bentuk, yaitu: TT (tuberkuloid polar, bentuk yang stabil), Ti (Tuberkuoid indefnite), BT (borderline tuberculoid), BB (mid borderline), BL (broderline lepromatous), Li (lepromatosa idefinite), dan LL (lepromatosa polar, bentuk yang stabil). Selain bentuk-bentuk determinate, terdapat juga bentuk indeterminate (I). Tiap-tiap bentuk tersebut diklasifikasikan berdasarkan pada perbedaan manifestasi klinis yang dibahas lebih lanjut di sub bab berikutnya.

5.4  Gejala Klinis
Seperti yang telah disinggung diatas, terdapat bentuk-bentuk penyakit lepra yang didasarkan pada gejela klinisnya. Satu persatu bentuk-bentuk tersebut akan dibahas di bawah ini.
5.4.1        Lepra tipe Indeterminate (I)
Lepra tipe Indeterminate ditemukan pada anak yang kontak dan kemudian menunjukkan 1 atau 2 makula hipopigmentasi yang berbeda-beda ukurannya dari 20 sampai 50 mm dan dapat dijumpai di seluruh tubuh. Makula memperlihatkan hipoestesia dan gangguan berkeringat. Hasil tes lepromin mungkin positif atau negatif. Sebagian besar penderita sembuh spontan, namun jika tidak diobati, sekitar 25% berkembang menjadi salah satu tipe determinate.5



5.4.2        Lepra tipe Determinate
5.4.2.1   Lepra tipe Tuberkuloid (TT)
Manifestasi klinis lepra tipe TT berupa 1 sampai 4 kelainan kulit. Kelainan kulit tersebutdapatberupabercak-bercak hipopigmentasi yang berbatas tegas, lebar, kering, serta hipoestesi atau anestesi dan tidak berambut. Kadang kala ditemukan penebalan saraf kulit sensorik di dekat lesi, atau penebalan pada saraf predileksi seperti n. auricularis magnus. Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam negatif, sedangkan tes lepromin memperlihatkan hasil positif kuat. Hal ini menunjukkan adanya imunitas seluler terhadap Mycobacterium leprae yang baik.5

5.4.2.2  Lepra tipe Borderline-Tuberkuloid (BT)
Kelainan kulit pada lepra tipe ini mirip dengan lepra tipe TT, namun biasanya lebih kecil dan banyak serta eritematosa dan batasnya kurang jelas. Dapat dijumpai lesi-lesi satelit. Dapat mengenai satu saraf tepi atau Iebih, sehingga menyebabkan kecacatan yang luas. Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif pada penderita lepra BT (very few sampai 1+). Tes lepromin positif.1

5.4.2.3  Lepra tipe Mid Boderline (BB)
Kelainan kulit berjumlah banyak tidak simetris dan polimorf. Kelainan kulit ini dapat berupa makula, papula dan bercak dengan bagian tengah hipopigmentasi dan hipoestesi serta berbentuk anuler dan mempunyai lekukan yang curam (punchedout). Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif, dengan indeks bakteriologis 2+ dan 3+. Tes lepromin biasanya negatif. Lepra tipe BB sangat tidak stabil.1

5.4.2.4   Lepra tipe Borderline-Lepromatosa (BL)
Kelainan kulit dapat berjumlah sedang atau banyak, berupa makula atau bercak-bercak eritematosa dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi dengan ukuran yang berbeda-beda dan tepi yang tidak jelas, dan juga papula, nodul serta plakat Kelainan saraf ringan. Hasil pemeriksaan apusan kulit untuk basil tahan asam positif kuat, dengan indeks bakteriologis 4+ sampai 5+. Tes lepromin negatif.5


5.4.2.5  Lepra tipe Lepromatosa (LL)
Kelainan kulit berupa makula hipopigmentasi atau eritematosa yang berjumlah banyalc, kecil-kecil, dan simetris dengan sensasi yang normal, permukaannya halus serta batasnya tidak jelas, dan papula. Saraf tepi biasanya tidak menebal, karena baru terserang pada stadium lanjut. Dapat terjadi neuropati perifer. Mukosa hidung menebal pada stadium awal, menyebabkan sumbatan hidung dan keluarnya duh tubuh hidung yang bercampur darah. Lama-kelamaan sel-sel lepra mengadakan infiltrasi, menyebabkan penebalan kulit yang progresif, sehingga menimbulkan wajah singa, plakat, dan nodul.
Nodul juga dapat terjadi pada mukosa palatum, septum nasi dan sklera. Alis dan bulu mata menjadi tipis, serta bibir, jari-jari Langan dan kaki membengkak. Dapat terjadi iritis dan keratitis. Kartilago dan tulang hidung perlahan-lahan mengalami kerusakan, menyebabkan hidung pelana. Jika laring terinfiltrasi oleh sel lepra, maka akan timbul suara serak. Akhirnya testis mengalami atrofi, dan kadang kala mengakibatkan ginekomastia. Hasil pemeriksaan asupan kulit untuk basil tahan asam positif, dengan indeks bakteriologis 5+ sampai 6+. Tes lepromin selalu negative.3

Deformitas atau cacat kusta sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Cacat primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Cacat sekunder terjadi sebagai akibat adanya deformitas primer, terutama kerusakan saraf (sensorik, motorik, otonom), antara lain kontraktur sendi, mutilasi tangan dan kaki.

Kerusakan saraf juga terjadi pada penderita lepra. Gejala yang ditunjukan dari kerusakan N.ulnaris adalah anastesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jadi manis, atrofi hipotenar dan otot interosesus serta kedua otot lumbrikalis medial. Gejala pada kerusakan N.medianus, meliputi anastesia pada ujung jari pada bagian anterior ibu jari; telunjuk dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari;telunjuk dan jari tengah, ibu jari kontraktur, serta atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
Gejala kerusakan dari N.radialis antara lain anastesia dorsum manus dan ujung proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist drop), dan tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan. Gejala kerusakan N.popitea lateralis antaralain anastesia tungkai bawah; bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung (foot drop), dan kelemahan otot peroneus. Gejala kerusakan pada N.tibialis posterior meliputi anastesia telapak kaki, claws toes, paralisis otot intrinsic kaki dan kolaps arkus pedis.
Jika terjadi kerusakan pada N.fasialis, gejala yang akan tampak antara lain lagoftalmus, kehilangan ekpresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir. Terakhir, jika terjadi kerusakan pada N.trigeminus, pasien akan mengalami anastesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata, selain itu juga akan terjadi atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.

5.5  Penatalaksanaan
5.5.1        Medikamentosa1
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisin. DDS mulai dipakai sejak1948 dan di Indonesia digunakan pada tahun 1952. Klofazimin dipakai sejak 1962 oleh Brown dan Hogerzeil, dan rifampisin sejak tahun 1970. Pada 1988 WHO menambahkan 3 obat alternatif, yaitu ofloksasin, minosiklin dan klaritrimisin.
5.5.1.1  DDS (Dapson)
DDS merupakan singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfone. Bentuk obat berupa tablet warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan 100 mg/tablet. Sifat bakteriostatik yaitu menghalang/menghambat pertumbuhan kuman kusta. Dosis: dewasa 100 mg/hari, anak-anak 1-2 mg/kg berat badan/hari. Efek samping jarang terjadi, berupa anemia hemolitik.
Manifestasi kulit (alergi) seperti halnya obat lain, seseorang dapat alergi terhadap obat ini. Bila hal ini terjadi harus diperiksa dokter untuk dipertimbangkan apakah obat harus distop. Manifestasi saluran pencernaan makanan : tidak mau makan, mual, muntah. Manifestasi urat syaraf; gangguan saraf tepi, sakit kepala vertigo, penglihatan kabur, sulit tidur, gangguan kejiwaan.

5.5.1.2  Rifampisin
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS dengan dosis 10mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya.
Ditemukan dan dipakai sebagai obat antituberkulosis pada tahun 1965 dan sebagai obat kusta pada tahun 1970 oleh REES dkk., serta Leiker dan Kamp. Resistensi pertama terhadap M. Leprae dibuktikan pada tahun 1976 oleh Kacobson dan Hastings. Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi kulit.

5.5.1.3  Klofazimin (leprene)
Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh Brown dan Hoogerzeil. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3 antiinflamasi sehingga dapat dipakai pada penanggulangan ENL dengan dosis lebih yaitu 200-300mg/hari namun awitan kerja baru timbul 2-3 minggu. Resistensi pertama pada satu kasus dibuktikan pada tahun 1982.
Efek samping ialah warna merah kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus, apalagi pada dosis tinggi, yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Hal tersebut disebabkan karena klofazimin adalah zat warna dan dideposit terutama pada sel retikuloendotelial, muka dan kulit. Pigmentasi bersifat reversible, meskipun menghilangnya lambat sejak obat dihentikan. Efek samping lain yang hanya terjadi dalam dosis tinggi, yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan.

5.5.1.4  Obat Alternatif: Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan flourokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi.

5.5.1.5  Obat Alternatif: Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standart harian 100mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness, dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan.

5.5.1.6  Obat Alternatif Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotik mikrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99,9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare yang terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg.

5.5.2        Non Medikamentosa3
Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda tajam atau panas dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah. Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu member lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).

5.6  Prognosis
Pada kasus kusta yang tidak diterapi, pasien yang bisa sembuh sendiri tanpa pengobatan adalah pasien yang mengidap kusta tipe TT dan BT yang berkembang menjadi TT. Sementara yang lainnya akan terjadi perkembangan secara progresif. Gejala yang timbul sering kali karena cedera saraf dan fase reaksi. BT, BB, BL, bisa berubah menjadi tipe LL apabila mengaami rekasi downgading (imunitas menurun) atau justru menjadi tipe TT apabila mengalami upgrading (imunitas meningkat), kedua reaksi tersebut disebut sebagai rekasi lepra tipe 1.1
Sementara itu dapat juga muncul reaksi lepra tipe 2 yaitu ENL (eritema nodosum leprosum) yang timbul pada tipe TT dan LL. Pada reaksi ini, imunitas humoral menurun sehingga terjadi reaksi dengan antigen yang banyak dilepas dan kemudian mengaktifkan komplemen. Pasien dapat mengalami ini pada saat menerima terapi Dapson. Gejalanya dapat berupa maligna, demam, sampai menggigil. Selain itu, infiltrat pada lesi juga dapat bertambah.

Kesimpulan
Lepra atau kusta atau juga dikenal dalam dunia kedokteran sebagai morbus Hanses, merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Awalnya bakteri tersebut menyerang sistim saraf perifer, lalu berlanjut ke kulit dan mukosa traktur respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ-organ lain kecuali sistem saraf pusat. Manifestasi klinis yang terjadi pada pasien didasarkan pada seberapa kuat kondisi kekebalan tubuh pasien tersebut. Berdasarkan dari perbedaan-perbedaan manifestasi klinis tersebut, lepra dibagi menjadi beberapa bentuk yaitu: I, TT, BT, BB, BL, dan L. Hingga saat ini, Dapson, Rimfamisin, dan Klofasimin masih menjadi obat yang paling sering digunakan untuk proses penyembuhan penderita kusta.

Daftar Pustaka
1.      Kosasih A, I Made Wisnu, Sjamsoe-Daili E, Menaldi SL. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Ed. VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2010.
2.      Prof. Dr. R.S. Siregar, SpKK (K). Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Ed. II. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
3.      Vachiramon V, Thadanipon K. Postinflammatory hypopigmentation. British Association of Dermtologis – Cinical and Experimental Dermatology [serial online]. Available from URL: http:/www.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1365-2230.2011.04088.x/pdf
4.      Sharma S.K. Miracles of urin therapy. New Delhi: Diamond Pocket Books; 2005.h.104.
5.      Amirudin  D. Penyakit kusta di Indonesia. Suplement vol. 26 no. 3, 2005; hal 572-68

6.      Thakkar S, Patel SV. Clinical profile of leprosy patients: a prospective study. Indian Journal of Dermatologi [serial online]. 2014. Vol 59 (2). Avaliable from URL: http://www.e-ijd.org.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar