Pendahuluan
Lepra atau yang lebih dikenal oleh masyarakat umum
sebagai Kusta adalah penyakit tertua yang sudah ada sejak sebelum Masehi. Kusta
sendiri berasal dari bahasa India, “kustha”.
Kusta merupakan suatu penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya adalah Myobacterium leprae yang bersifat
intraselular obligat. Saraf
perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius
bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan daraf pusat. Penyakit
Kusta bukan hanya memperburuk estetika seseorang tetapi juga dapat menyebabkan
seseorang dikucilkan dari lingkungannya. Di Indonesia sendiri kasus Kusta masih
cukup banyak dan masih dapat ditemukan di beberapa wilayah seperti di Maluku,
Papua, dan juga di Pulau Jawa.1
Dalam PBL kali ini,
terdapat kasus mengenai seorang laki-laki berusia 40 tahun yang datang ke
poliklinik dengan keluhan berupa bercak putuh pada lengan kiri sejak satu
bulan, namun tidak merasa gatal. Berdasarkan kasus tersebut, pada makalah kali
ini akan dijelaskan lebih lengkap mengenai Lepra atau Kusta. Semoga makalah
kali ini dapat membantu mahasiswa FK Universitas Kristen Krida Wacana lebih
memahami lagi materi yang terkait dengan kasus diatas.
Pembahasan
Anamnesis
Anamnesis yang akurat sangat vital
dalam menegakkan diagnosis yang tepat pada kondisi-kondisi yang mengenai kulit.
Keluhan utama tersering diantaranya adalah ruam, gatal, bengkak, ulkus,
perubahan warna kulit dan pengamatan tak sengaja saat pasien datang dengan keluhan utama kondisi
medis lain. Anamnesis dapat dilakukan kepada pasien secara langsung
apabila kondisinya memungkinkan, namun dapat ditanyakan pula pada orang
terdekat atau orang yang mengantar pasien ke dokter. Sesuai dengan kasus,
pertanyaan yang diajukan dapat meliputi identitas diri, keluhan utama, sejak
kapan keluhan utama muncul, keluhan lain yang mungkin dirasakan, riwayat penyakit
yang diderita saat ini, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, pengobatan
yang sudah dilakukan dan kondisi sosial ekonomi pasien.
Pertanyaan-pertanyaan yang dapat ditanyakan saat
menanyakan keluhan lain yang berhubungan dengan kasus ini adalah: “Apakah ada
sisik?”. Sementara pertanyaan-pertanyaan yang dapat ditanyakan saat menanyakan
riwayat penyakit dahulu adalah: “Pernahkah Anda mengalami keluhan serupa?”,
“Apakah ada riwayat alergi” dan “Apakah Anda menderita Diabetes Melitus?”. Pada
riwayat keluarga dapat ditanyakan: “Apakah ada keluarga atau orang yang tinggal
serumah, yang mengalami keluhan yang sama?”. Perlu juga ditanyakan “Bagaimana
kondisi tempat tinggal Anda?”, “Bagaimana kebiasaan mandi Anda?” dan “Seberapa
sering Anda berganti baju atau pakaian dalam” untuk melengkapi info mengenai
riwayat sosial dan kebiasaan pasien.
Didapatkan
hasil anamnesis sebagai berikut:
Usia : 40thn
Keluhan Utama : Bercak putih pada lengan kiri
sejak satu
bulan yang lalu
Keluhan Lain :
Tidak ada rasa gatal, terasa baal
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan meliputi
pemeriksaan tanda-tanda vital, inspeksi, pemeriksaan sensibilitas, pemeriksaan
saraf tepi, dan pemeriksaan fungsi saraf otonom. Untuk melakukan inspeksi, alat
bantu yang dapat dipergunakan adalah kaca pembesar. Pemeriksaan ini mutlak
dilakukan dalam ruangan yang terang. Pada inspeksi diperhatikan lokalisasi,
warna, bentuk, ukuran, penyebaran, batas, dan efloresensi yang khusus.1
Pada penderita lepra akan didapatkan gambaran makula hipopigmentasi yang juga
mengalami achromia (tidak ada pigmen), anestesia (tanpa rasa gatal), atrofi
(kulit agak mencekung), alopesia (tanpa rambut), dan anhidrosis (tidak
berkeringat).
Selain itu, pasien juga diminta memejamkan mata,
menggerakan mulut, bersiul dan tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah,
dikarena penyakit kusta dapat menyebabkan kerusakan saraf.2 Pemeriksaan
berikutnya adalah melakukan pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan
kapas atau bulu untuk mengetes rasa raba, jarum pentul jarum pentul yang tajam dan tumpul untuk mengetes rasa
nyeri, serta air panas dan dingin dalam tabung reaksi unuk mengetes rasa suhu.2
Pemeriksaan
saraf tepi dilakukan pada n.facialis, n.auricularis magnus, n.ulnaris, n.radialis,
n.medianus, n.peroneus dan n.tibialis posterior.
Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan
dan adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau
tidak saat saraf diraba. Terakhir,
perlu dilakukan pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu memeriksa ada tidaknya
kekeringan pada lesi akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan
menggunakan pensil tinta (uji Gunawan).2
Dari hasil pemeriksaan
didapatkan:
Tanda-tanda vital : Normal
Inspeksi : Makula
hipopigmentasi (becak putih)
Pemeriksaan Sensibilitas :
Baal
Pemeriksaan Penunjang1
1. Pemeriksaan Bakterioskopik
(Kerokan Jaringan Kulit)
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan
pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang diwarnai
dengan pewarnaan terhadap bakteri tahan asam, antara lain dengan Ziehl Neelsen.
Pemeriksaan bakteri negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut
tidak mengandung M. leprae.
Pertama-tama
kita harus memilih tempat-tempat di kulit yang diharapkan paling padat oleh
bakteri, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil.
Untuk pemeriksaan rutin biasanya diambil dari minimal 4-6 tempat, yaitu kedua
cuping telinga bagian bawah dan 2-4 tempat lain yang paling aktif, berarti yang
paling merah di kulit dan infiltratif.
Kepadatan
M. leprae tanpa membedakan solid atau nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan
dengan Indek Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley. Seperti
tertera di bawah ini:
0
bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1+
bila 1-10 BTA dalam 100 LP
2+
bila 1-10 BTA dalam 10 LP
3+
bila 1-10 BTA rata-rata dalam 100LP
4+
bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5+
bila 101-1000 BTA dalam 1 LP
6+
bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
2. Pemeriksaan Histopatologi
Gambaran
histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih
nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan non-solid. Pada tipe lepromatosa
terdapat kelim sunyi subepidermal, yaitu suatu daerah langsung di bawah
epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati pula adanya sel Vinrchow
dengan banyak kuman. Pada tipe borderline, terdapat campuran unsur-unsur
tersebut.
3. Pemeriksaan
Serologik
Pemeriksaan
serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik
terhadap M. leprae, yaitu antibodi antiphenolic
glycoplipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD.
Macam-macam pemeriksaan serologik kusta yang dapat dilakukan adalah: tes
FLA-ABS, tes ELISA, dan tes MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination).
4. Pemeriksaan Tes
Lepromin
Tes lepromin
adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk
diagnosis, berguna untuk menunjukan sistem imun penderita terhadap M.leprae.
0,1 ml lepromin, dipersiapkan dari extraks basil oganisme untuk kemudian
disuntikan intradermal. Kemudian dibaca pada setelah 48 jam atau 2 hari (reaksi
fernandez), dapat juga ditunggu hingga 3-4 minggu (rekasi Mitsuda). Reaksi
Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukan kalau
penderita bereaksi terhadap M.leprae, yaitu memberikan respon imun tipe lambat.
Sementara itu, Reaksi Mitsuda bernilai seperti dibawah ini:
0
: Papul
berdiameter 3mm atau kurang
+1 : Papul berdiameter 4-6mm
+2 : Papul berdiameter 7-10mm
+3 : Papul berdiameter lebih dari 10mm
Differential
Diagnosis
1.
Hipopigmentasi Post Inflamasi3
Hipopigmentasi post inflamasi adalah hilangnya
sebagian atau keseluruhan dari pigmentasi kulit yang terjadi setelah peradangan
kulit. Distribusi dan keparahan hilangnya pigmen berkaitan dengan tingkat dan
derajar peradangan yang jeradi sebelumnya. Banyak kondisi peradangan kulit yang
dapat menyebabkan hipopigmentasi post inflamasi. Misalnya saja seperi pityriasis licchenoides chronica (PLC) dan
Lichen striatus (LS). Selain dari
itu, trauma akibat luka bakar juga dapat menyebabkan hipopigmentasi post
inflamasi.
Ukuran dan bentuk lesi hipopigmentasi post
inflamasi berkorelasi dengan distibusi dan konfigurasi inflamasi awal.
Perubahan pigmen kadang-kadang berdampingan dengan lesi inflamasi yang asli,
hal ini membuat diagnosis lebih mudah. Gambaran yang dapat ditemukan berupa
bercak berwarna putih atau berwarna lebih terang dari warna aslinya, yang
terlihat pada daerah bekas inflamasi atau trauma.
2.
Leucoderma (Vitiligo)4
Leucoderma atau yang dalam dunia medis dikenal
sebagai Vitiligo adalah kelainan kulit kronis yang menyebabkan depigmentasi
kulit. Hal ini menyebabkan perubahan warna pada bagian kulit yang disebabkan
penurunan bertahap melanin dari lapiran dermal atau dikarenakan kerusakan
fungsi dari sel-sel melanosit. Awalnya penderita mungkin tidak menyadari atau
mengabaikan perubahan warna karena hanya bercak putih sedikit saja, tapi
seiring denan berjalannya waktu, perubahan warna mulai membesar dan bahkan
bertambah banyak. Depigmentasi kulit biasanya terjadi di dekat mulut, mata,
hidung, jari, kuku, alat keelamin dan umbilikus. Michael Jackson adalah salah
satu penderita Leucorma (Vitiligo).
Tanda-tanda klinis yang dapat dilihat adalah
timbulnya bercak putih pada kulit yang makin lama makin membesar, rambut
beruban lebih awal, kehilangan rambut, rambut di bagian yang terdapat becak
berubah menjadi putih, peka terhadap dingin, dan pasien mungkin sering
menderita perubahan suasana hati atau depresi. Penyebab umum leucoderma bisa
disebabkan penyakit lambung kronis atau akut, kekurangan kalsium, kondisi kulit
inflamasi, luka bakar, stres yang berlebihan, penurunan fungsi hati, mengenakan
pakaian ketat, mengenakan sarung tangan ketat, atau menggunakan tato pada
kulit.
3.
Pitiriasis Versikolor1
Pitiriasis versikolor atau tinea versikolor disebabkan Malassezia furfur adalah penyakit jamur superfisial yang kronik,
biasanya tidak memberikan keluhan subyektif, berupa bercak berskuama halus yang
berwarna putih sampai coklat hitam, terutama meliputi badan dan kadang-kadang
dapat menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit
kepala yang berambut. Orang awam biasa menyebutnya dengan panu.
Kelainan kulit pitiriasis versikolor sangat superfisial dan ditemukan
terutama di badan. Kelainan ini terlihat sebagai bercak-bercak berwarna-warni,
bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus. Bercak-bercak
tersebut berfluoresensi bila dilihat dengan lampu Wood. Bentuk papulo-vesikular
dapat terlihat walaupun jarang. Kelainan biasanya asimtomatik sehingga
adakalanya penderita tidak mengetahui bahwa ia berpenyakit tersebut.
Kadang-kadang
penderita dapat merasakan gatal ringan, yang merupakan alasan berobat.
Pseudoakromia, akibat tidak terkena sinar matahari atau kemungkinan pengaruh
toksis jamur terhadap pembentukan pigmen, sering dikeluhkan penderita. Penyakit ini sering
dilihat pada remaja, walaupun anak-anak dan orang dewasa tua tidak luput dari
infeksi. Menurut Burke (1961) ada beberapa faktor mempengaruhi infeksi, yaitu
faktor herediter, penderita yang sakit kronik atau yang mendapat pengobatan
steroid dan malnutrisi.
4.
Pitiriasis Alba1
Pitirasis Alba adalah bentuk
dermatitis yang tidak spesifik dan belum diketahui penyebabnya. Ditandai dengan
adanya bercak kemerahan dan skuama halus yang akan menghilang serta
meninggalkan area yang depigmentasi. Pitiriasis alba sering dijumpai
pada anak berumur
3-16 tahun (30-40%). Wanita dan pria sama banyak.
Lesi
berbentuk bulat, oval atau plakat yang tak teratur. Warna merah muda atau
sesuai warna kulit dengan skuama halus. Setelah eritema menghilang, lesi yang
dijumpai hanya depigmentasi dengan skuama halus. Pada stadium ini penderita
datang berobat terutama pada orang dengan kulit berwarna.
Bercak
biasanya multipel 4 sampai 20 dengan diameter antara ½-2 cm. Pada anak-anak
lokasi kelainan pada muka (50-60%), paling sering disekitar mulut, dagu, pipi,
serta dahi. Lesi dapat dijumpai pada ekstremitas dan badan. Dapat simetris pada
bokong, paha atas, punggung, dan ekstensor lengan, tanpa keluhan. Lesi umumnya
menetap, terlihat sebagai leukoderma setelah skuama menghilang.
5.
Tinea Corporis1
Merupakan
dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut. Kelainan yang dilihat dalam
klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri dari eritema,
skuama, kadang-kadang dengan visikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya
biasanya lebih tenang, kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan.
Lesi biasanya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain, dapat
juga terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggran yang polisiklik.
Bentuk dengan tanda
radang yang lebih nyata, lebih sering terihat pada anak-anak dari pada orang
dewasa karena umumnya mereka baru mendapatkan infeksi pertama kali. Pada tine
corporis yang menahun, tanda radang mendadak biasanya tidak terlihat lagi.
Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh.
Working Diagnosis
Working Diagnosis yang diambil adalah lepra atau kusta atau morbus Hansen. Diagnosis ini dapat diambil atas dasar
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang serta adanya gejala
klinis yang sesuai, yaitu: didapati lesi makula hipopigmentasi yang tidak
gatal, namun pada bagiaan lesi terasa baal.
5.1 Epidemiologi
Kusta merupakan penyakit infeksi yang saat masih tinggi
prevalensinya terutama di negara berkembang. Kusta merupakan penyakit yang
bersifat endemik diseluruh dunia kecuali Antartika. Di Amerika hanya Kanada dan
Chili yang tidak pernah ditemukan endemik dari kusta. Di bagian Selatan Eropa
hanya ditemukan sedikit kasus dari kusta. Angka kejadi tertinggi kasus kusta
terdapat dibagian pulau Pasifik, seperti India. India merupakan negara kedua yang memiliki
angka tertinggi dari kusta.
Kasus
lepra atau kusta secara mendunia menurun sekitar 90% selama kurun waktu 20
tahun ini karena adanya program kesehatan. Dari data WHO menyatakan ada 220.000
kasus pada tahun 2006. Kebanyakan pasien terinfeksi saat masih kecil dimana
penderita tinggal bersama penderita kusta. Penderita kusta pada anak-anak baik
laki-laki atau perempuan sama besarnya, namun pada orang dewasa pria lebih
sering terkena kusta.
Di
Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun, didapatkan ± 11,39%
tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan
penderita dibawah usia 1 tahun penting dilakukan untuk di cari kemungkinan ada
tidaknya kusta konginetal. Frekuensi tertinggi kusta terdapat pada orang dengan
usia 25-35 tahun. Data
penelitian semakin rendah sosial ekonominya maka akan semakin berat
penyakitnya, sebaliknya semakin tinggi keadaan sosial ekonomi masyarakat maka
akan semakin membantu penyembuhan. Selain itu dari penelitian ada perbedaan
reaksi infeksi M leprae yang mengakibatkan gambaran klinis di berbagai suku
bangsa. Hal ini diduga disebabkan faktor genetik yang berbeda.
5.2 Etiologi
Kuman
penyebabnya adalah Mycobacterium leprae
yang ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai
sekarang belum juga dapat di biakkan dalam media artifisial. M. leprae berbentuk kuman dengan ukuran
3-8 µm x 0,5 µm, tahan asam dan alkohol serta positif-Gram.1
5.3 Patofisologi1
Sebenarnya
M. leprae mempunyai patogenitas dan
daya invasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak
belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain
disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi
granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif.
Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.
Setelah M. leprae masuk ke
dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang.
Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat system
imunitas seluler (cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem
imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan bila
rendah, berkembang ke arah lepromatosa.
M. leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin,
yaitu daerah akral dengan vasularisasi yang sedikit. Sumber
penularan adalah melalui kontak langsung yang berlangsung dalam waktu yang
cukup lama. Dapat juga menular melalui mukosa hidung, tempat tidur, pakaian,
dan ada kemungkinan dikarenakan gigitan serangga.
Seperti yang telah disinggung diatas bahwa kondisi imun
seseorang dapat menentukan bentuk gejala yang nantinya akan diderita. Ridley
dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate
pada penyakit kusta yang terdiri atas berbaai tipe atau bentuk, yaitu: TT
(tuberkuloid polar, bentuk yang stabil), Ti (Tuberkuoid indefnite), BT (borderline
tuberculoid), BB (mid borderline), BL
(broderline lepromatous), Li
(lepromatosa idefinite), dan LL (lepromatosa
polar, bentuk yang stabil). Selain bentuk-bentuk determinate, terdapat juga bentuk indeterminate (I). Tiap-tiap bentuk tersebut diklasifikasikan
berdasarkan pada perbedaan manifestasi klinis yang dibahas lebih lanjut di sub
bab berikutnya.
5.4 Gejala Klinis
Seperti yang telah disinggung diatas, terdapat
bentuk-bentuk penyakit lepra yang didasarkan pada gejela klinisnya. Satu
persatu bentuk-bentuk tersebut akan dibahas di bawah ini.
5.4.1
Lepra tipe Indeterminate (I)
Lepra
tipe Indeterminate ditemukan pada anak yang kontak dan
kemudian menunjukkan 1 atau 2 makula hipopigmentasi yang berbeda-beda ukurannya
dari 20 sampai 50 mm dan dapat dijumpai di seluruh tubuh. Makula memperlihatkan hipoestesia dan gangguan
berkeringat. Hasil tes lepromin mungkin positif atau negatif. Sebagian besar
penderita sembuh spontan, namun jika tidak diobati, sekitar 25% berkembang
menjadi salah satu tipe determinate.5
5.4.2
Lepra tipe
Determinate
5.4.2.1 Lepra tipe Tuberkuloid (TT)
Manifestasi klinis lepra
tipe TT berupa 1 sampai 4 kelainan kulit. Kelainan kulit
tersebutdapatberupabercak-bercak hipopigmentasi yang berbatas tegas, lebar,
kering, serta hipoestesi atau anestesi dan tidak berambut. Kadang kala
ditemukan penebalan saraf kulit sensorik di dekat lesi, atau penebalan pada
saraf predileksi seperti n. auricularis magnus. Hasil
pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam negatif, sedangkan tes lepromin
memperlihatkan hasil positif kuat. Hal ini menunjukkan adanya imunitas seluler
terhadap Mycobacterium leprae yang baik.5
5.4.2.2 Lepra
tipe Borderline-Tuberkuloid (BT)
Kelainan kulit pada
lepra tipe ini mirip dengan lepra tipe TT, namun biasanya lebih kecil dan
banyak serta eritematosa dan batasnya kurang jelas. Dapat dijumpai lesi-lesi
satelit. Dapat mengenai satu saraf tepi atau Iebih, sehingga menyebabkan
kecacatan yang luas. Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam
positif pada penderita lepra BT (very few sampai 1+). Tes
lepromin positif.1
5.4.2.3 Lepra
tipe Mid Boderline
(BB)
Kelainan kulit berjumlah
banyak tidak simetris dan polimorf. Kelainan kulit ini dapat berupa makula,
papula dan bercak dengan bagian tengah hipopigmentasi dan hipoestesi serta berbentuk
anuler dan mempunyai lekukan yang curam (punchedout). Hasil
pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif, dengan indeks
bakteriologis 2+ dan 3+. Tes lepromin biasanya negatif. Lepra tipe BB sangat
tidak stabil.1
5.4.2.4 Lepra
tipe Borderline-Lepromatosa (BL)
Kelainan
kulit dapat berjumlah sedang atau banyak, berupa makula atau bercak-bercak
eritematosa dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi dengan ukuran yang
berbeda-beda dan tepi yang tidak jelas, dan juga papula, nodul serta plakat
Kelainan saraf ringan. Hasil pemeriksaan apusan
kulit untuk basil tahan asam positif kuat, dengan indeks bakteriologis 4+
sampai 5+. Tes lepromin negatif.5
5.4.2.5 Lepra
tipe Lepromatosa (LL)
Kelainan kulit berupa
makula hipopigmentasi atau eritematosa yang berjumlah banyalc, kecil-kecil, dan
simetris dengan sensasi yang normal, permukaannya halus serta batasnya tidak
jelas, dan papula. Saraf tepi biasanya tidak menebal, karena baru terserang
pada stadium lanjut. Dapat terjadi neuropati perifer. Mukosa hidung menebal
pada stadium awal, menyebabkan sumbatan hidung dan keluarnya duh tubuh hidung
yang bercampur darah. Lama-kelamaan sel-sel lepra mengadakan infiltrasi,
menyebabkan penebalan kulit yang progresif, sehingga menimbulkan wajah singa,
plakat, dan nodul.
Nodul juga dapat terjadi
pada mukosa palatum, septum nasi dan sklera. Alis dan bulu mata menjadi tipis,
serta bibir, jari-jari Langan dan kaki membengkak. Dapat terjadi iritis dan
keratitis. Kartilago dan tulang hidung perlahan-lahan mengalami kerusakan,
menyebabkan hidung pelana. Jika laring terinfiltrasi oleh sel lepra, maka akan
timbul suara serak. Akhirnya testis mengalami atrofi, dan kadang kala
mengakibatkan ginekomastia. Hasil pemeriksaan asupan kulit untuk basil tahan
asam positif, dengan indeks bakteriologis 5+ sampai
6+. Tes lepromin selalu negative.3
Deformitas
atau cacat kusta sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam deformitas
primer dan sekunder. Cacat primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai
reaksi terhadap M.leprae, yang
mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus
respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Cacat sekunder terjadi
sebagai akibat adanya deformitas primer, terutama kerusakan saraf (sensorik,
motorik, otonom), antara lain kontraktur sendi, mutilasi tangan dan kaki.
Kerusakan saraf juga terjadi pada penderita lepra. Gejala
yang ditunjukan dari kerusakan N.ulnaris adalah anastesia pada ujung jari
anterior kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jadi manis, atrofi
hipotenar dan otot interosesus serta kedua otot lumbrikalis medial. Gejala pada
kerusakan N.medianus, meliputi anastesia pada ujung jari pada bagian anterior
ibu jari; telunjuk dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari;telunjuk dan jari
tengah, ibu jari kontraktur, serta atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis
lateral.
Gejala kerusakan dari N.radialis antara lain anastesia dorsum manus dan ujung proksimal jari
telunjuk, tangan
gantung (wrist drop), dan tak mampu ekstensi
jari-jari atau pergelangan tangan. Gejala kerusakan N.popitea lateralis antaralain anastesia tungkai bawah; bagian lateral dan
dorsum pedis, kaki
gantung (foot drop), dan kelemahan otot
peroneus. Gejala kerusakan pada N.tibialis posterior meliputi anastesia telapak kaki, claws
toes, paralisis
otot intrinsic kaki dan kolaps arkus pedis.
Jika terjadi kerusakan pada N.fasialis, gejala yang akan
tampak antara lain lagoftalmus, kehilangan ekpresi
wajah dan kegagalan mengatupkan bibir. Terakhir, jika terjadi kerusakan pada N.trigeminus, pasien
akan mengalami anastesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata, selain itu
juga akan terjadi atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
5.5 Penatalaksanaan
5.5.1
Medikamentosa1
Obat antikusta yang paling banyak
dipakai pada saat ini adalah DDS (diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin,
dan rifampisin. DDS mulai dipakai sejak1948 dan di Indonesia digunakan pada
tahun 1952. Klofazimin dipakai sejak 1962 oleh Brown dan Hogerzeil, dan
rifampisin sejak tahun 1970. Pada 1988 WHO menambahkan 3 obat alternatif, yaitu
ofloksasin, minosiklin dan klaritrimisin.
5.5.1.1 DDS (Dapson)
DDS merupakan singkatan
dari Diamino Diphenyl Sulfone. Bentuk
obat berupa tablet warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan 100 mg/tablet. Sifat
bakteriostatik yaitu menghalang/menghambat pertumbuhan kuman kusta. Dosis:
dewasa 100 mg/hari, anak-anak 1-2
mg/kg berat badan/hari. Efek samping jarang terjadi, berupa
anemia hemolitik.
Manifestasi
kulit (alergi) seperti halnya obat lain, seseorang dapat alergi terhadap obat
ini. Bila hal ini terjadi harus diperiksa dokter untuk dipertimbangkan apakah
obat harus distop. Manifestasi saluran pencernaan makanan
: tidak mau makan, mual, muntah. Manifestasi urat syaraf; gangguan saraf
tepi, sakit kepala vertigo, penglihatan kabur, sulit tidur, gangguan kejiwaan.
5.5.1.2
Rifampisin
Rifampisin
adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS dengan dosis 10mg/kg
berat badan; diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh
diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya
resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh
diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya.
Ditemukan dan
dipakai sebagai obat antituberkulosis pada tahun 1965 dan sebagai obat kusta
pada tahun 1970 oleh REES dkk., serta Leiker dan Kamp. Resistensi pertama
terhadap M. Leprae dibuktikan pada tahun 1976 oleh Kacobson dan Hastings. Efek samping yang harus diperhatikan
adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi kulit.
5.5.1.3
Klofazimin (leprene)
Obat ini mulai
dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh Brown dan Hoogerzeil. Dosis
sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3
antiinflamasi sehingga dapat dipakai pada penanggulangan ENL dengan dosis lebih
yaitu 200-300mg/hari namun awitan kerja baru timbul 2-3 minggu. Resistensi
pertama pada satu kasus dibuktikan pada tahun 1982.
Efek samping
ialah warna merah kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada sklera,
sehingga mirip ikterus, apalagi pada dosis tinggi, yang sering merupakan
masalah dalam ketaatan berobat penderita. Hal tersebut disebabkan karena
klofazimin adalah zat warna dan dideposit terutama pada sel retikuloendotelial,
muka dan kulit. Pigmentasi bersifat reversible, meskipun menghilangnya lambat
sejak obat dihentikan. Efek samping lain yang hanya terjadi dalam dosis tinggi,
yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat
terjadi penurunan berat badan.
5.5.1.4
Obat Alternatif: Ofloksasin
Ofloksasin
merupakan turunan flourokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium leprae in vitro. Dosis
optimal harian adalah 400mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan
membunuh kuman Mycobacterium leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya
adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan
susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi.
5.5.1.5
Obat Alternatif: Minosiklin
Termasuk dalam
kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada klaritromisin,
tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standart harian 100mg. Efek
sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan
susunan saraf pusat, termasuk dizziness,
dan unsteadiness. Oleh sebab itu
tidak dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan.
5.5.1.6
Obat Alternatif Klaritromisin
Merupakan
kelompok antibiotik mikrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap
Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa,
dosis harian 500 mg dapat membunuh 99,9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah
nausea, vomitus, dan diare yang terbukti sering ditemukan bila obat ini
diberikan dengan dosis 2000 mg.
5.5.2
Non
Medikamentosa3
Bila terdapat
gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai
sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila
bekerja dengan benda tajam atau panas dan memakai kacamata untuk melindungi
matanya. Selain itu diajarkan pula cara
perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya
memar, luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan
diminyaki agar tidak kering dan pecah. Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu
member lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi
dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi
psikologik (kejiwaan).
5.6 Prognosis
Pada kasus kusta yang tidak diterapi, pasien yang bisa
sembuh sendiri tanpa pengobatan adalah pasien yang mengidap kusta tipe TT dan
BT yang berkembang menjadi TT. Sementara
yang lainnya akan terjadi perkembangan secara progresif. Gejala yang timbul
sering kali karena cedera saraf dan fase reaksi. BT, BB, BL, bisa berubah
menjadi tipe LL apabila mengaami rekasi downgading
(imunitas menurun) atau justru menjadi tipe TT apabila mengalami upgrading (imunitas meningkat), kedua
reaksi tersebut disebut sebagai rekasi lepra tipe 1.1
Sementara itu dapat juga muncul reaksi lepra tipe 2 yaitu
ENL (eritema nodosum leprosum) yang timbul pada tipe TT dan LL. Pada reaksi
ini, imunitas humoral menurun sehingga terjadi reaksi dengan antigen yang
banyak dilepas dan kemudian mengaktifkan komplemen. Pasien dapat mengalami ini
pada saat menerima terapi Dapson. Gejalanya dapat berupa maligna, demam, sampai
menggigil. Selain itu, infiltrat pada lesi juga dapat bertambah.
Kesimpulan
Lepra atau
kusta atau juga dikenal dalam dunia kedokteran sebagai morbus Hanses, merupakan penyakit
yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Awalnya bakteri tersebut menyerang
sistim saraf perifer, lalu berlanjut ke kulit dan mukosa traktur
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ-organ lain kecuali sistem
saraf pusat.
Manifestasi klinis yang terjadi pada pasien didasarkan pada seberapa
kuat kondisi kekebalan tubuh pasien tersebut. Berdasarkan dari
perbedaan-perbedaan manifestasi klinis tersebut, lepra dibagi menjadi beberapa
bentuk yaitu: I, TT, BT, BB, BL, dan L. Hingga saat ini, Dapson, Rimfamisin,
dan Klofasimin masih menjadi obat yang paling sering digunakan untuk proses
penyembuhan penderita kusta.
Daftar Pustaka
1.
Kosasih
A, I Made Wisnu, Sjamsoe-Daili E, Menaldi SL. Ilmu penyakit kulit dan kelamin.
Ed. VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2010.
2.
Prof.
Dr. R.S. Siregar, SpKK (K). Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Ed. II.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
3.
Vachiramon V, Thadanipon K. Postinflammatory hypopigmentation. British Association of Dermtologis –
Cinical and Experimental Dermatology [serial online]. Available from URL: http:/www.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1365-2230.2011.04088.x/pdf
4.
Sharma S.K. Miracles
of urin therapy. New Delhi: Diamond
Pocket Books; 2005.h.104.
5.
Amirudin D. Penyakit kusta di Indonesia. Suplement
vol. 26 no. 3, 2005; hal 572-68
6.
Thakkar S, Patel SV. Clinical
profile of leprosy patients: a prospective study. Indian Journal of Dermatologi
[serial online]. 2014. Vol 59 (2). Avaliable
from URL: http://www.e-ijd.org.