Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Masyarakat saat ini adalah tipe masyarakat yang membutuhkan perhatian
serta sentuhan kasih yang lebih besar karena kejenuhan mereka terhadap
teknologi. Setiap kali mereka menghadapi permasalahan yang mengganggu mental
maupun fisik, mereka akan berusaha mencari pertolongan. Dokter adalah salah
satu tujuan yang kerap mereka datangi. Dengan datang kepada dokter, mereka
tidak hanya berharap dapat disembuhkan secara fisik, tetapi juga secara mental.
Disinilah seorang dokter harus dapat melakukan komunikasi yang efektif
kepada tiap masyarakat yang datang untuk mencari pertolongan. Dengan bersedia
mendengarkan tiap keluhan mereka dengan sabar dan penuh perhatian, dokter
secara tidak langsung telah mengurangi penderitaan pasien. Terlebih dari itu,
dengan menyampaikan informasi yang benar ataupun memberikan kata-kata yang
menyejukkan dan menguatkan, membuat pasien semakin merasa tertolong. Dengan
komunikasi yang efektif inilah, dokter dapat meningkatkan kesehatan jiwa,
kepuasan pasien, dan dapat mengurangi risiko malpraktik.
Selain mampu berkomunikasi secara efektif, dokter juga dituntut untuk
memiliki rasa empati. Empati adalah kemampuan untuk merasakan, menghayati, dan
menempatkan diri sendiri ditempat oranglain. Dengan berempati, dokter mampu
meningkatkan pertumbuhan pasien dalam hal kesucian, kebajikan, kasih dan hikmat
spiritual. Tidak hanya itu, dengan berempati dokter dapat menolong pasien untuk
menjadi kuat, mandiri, dan dapat melihat realitas kehidupannya.
2.
Latar Belakang Masalah
Kasus yang diberikan kali ini bercerita tentang seorang perempuan berusia
45 tahun yang menyampaikan banyak keluhan dengan cara yang kekanak-kanakan. Hal
tersebut membuat dokter menjadi kesal. Dari kasus tersebut, saya melihat bahwa
dokter masih belum mampu menerapkan keterampilan untuk berkomunikasi efektif.
Dalam hal berempati, dokter tersebut juga tampaknya kurang berempati kepada
pasien. Dokter juga tidak menangani pasien sesuai dengan egostate yang
ditunjukkan oleh pasien.
Isi
1.
Sikap Diri (Ego
State) Pada Manusia
Menurut Eric Berne, setiap orang
mempunyai tiga sikap diri (ego state),
yaitu sikap diri orang tua (parent ego
state), sikap diri dewasa (adult ego
state), dan sikap diri anak (child
ego state)1. Tiga sikap diri ini tidak memandang usia dari
masing-masing individu, entah itu remaja, orang tua, nenek, anak kecil, dsb.
Berapa pun usia seorang manusia, ia bisa saya berbicara dan bersikap dalam tiga
sikap diri. Terkadang mereka menjadi seperti anak-anak, kadang seperti dewasa,
dan terkadang bisa seperti orang tua.
1.1 Sikap Diri Orang Tua
Sikap diri orang tua biasanya condong
kearah sikap yang mengatur, menegur, menyalahkan, mengharuskan, megasuh,
menghibur, dan menyayangi2. Maka dari itu, dapat diartikan bahwa
sikap diri orang tua adalah bagian kepribadian yang bisa bersikap mengkritik
namun juga bisa mengasuh dengan kasih namun sikap diri orang tua biasanya tidak
dapat disalahkan.
1.2 Sikap Diri Dewasa
Sikap diri dewasa berarti sikap dalam
menghadapai persoalan secara cerdas, menggunakan otak, terarah, tidak berpihak,
mengumpulkan keterangan, dan mencari pemecahan terbaik3. Selain itu,
sikap diri dewasa juga dapat dilihat dari sikap mereka yang berorientasi pada
kenyataan, memberi keterangan yang diperlukan, mengalisa dan mencoba memahami
situasi, membandingkan berbagai alternatif, percaya diri sendiri, tidak
dipengaruhi perasaan, dan melakukan koreksi bila perlu. Maka sikap diri dewasa
cenderung mengolah persoalan berdasarkan data, analisis, dan juga logika.
1.3 Sikap Diri Kanak-Kanak
Sikap diri anak ialah ketika seseorang bersikap seperti diperlihatkan
oleh anak-anak. Anak-anak memiliki sikap yang spontan, ingin campur segala
urusan, main-main, merengek, penuh daya cipta, bersungut-sungut, dan menganggap
ringan masalah. Penampilan anak-anak dipenuhi dengan perasaan, fantasi, intuisi
dan juga emosi.
1.4 Sikap Diri dalam
Komunikasi
Tiap-tiap orang harus mampu menentukan
“sikap diri” agar komunikasi dapat berjalan dengan lancar dan menyenangkan. Jauh
lebih baik, apabila keduanya dapat memiliki “sikap diri” dewasa dengan dewasa. Apabila
salah satu pihak dalam kegiatan komunikasi menyadari tipe sikap diri manakah
yang terdapat pada lawan bicara, lalu dapat menyesuaikan diri, maka komunikasi
akan berjalan dengan lancar. Jadi, secara tidak langsung, keberhasilan suatu
komunikasi turut didukung dengan memahami sikap diri yang ditunjukkan oleh
lawan bicara kita.
2.
Komunikasi
2.1 Pengertian Komunikasi
Ada beberapa pengertian terkait dengan komunikasi. Pertama, komunikasi dapat diartikan sebagai proses interaksi penuh
makna antara sesama manusia. Kedua, komunikasi
adalah proses dimana makna dipertukarkan sehingga terjadi pemahaman. Ketiga, komunikasi merupakan proses
dimana pesan diberikan atau diterima baik secara verbal maupun non-verbal.
Dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses pemberian atau penerimaan
pesan antar sesama manusia sehingga terjadi pemahaman baik melalui verbal
(menggunakan kata-kata) maupun non verbal (tidak menggunakan kata-kata).
2.2 Komunikasi Verbal dan
Non Verbal
2.2.1
Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal dapat diartikan sebagai komunikasi yang melibatkan
bahasa atau perkataan4. Komunikasi verbal dapat disuarakan maupun
ditulis. Dalam hal ini, kualitas suara; kecepatan; dan intonasi turut menjadi
usur yang harus diperhatikan dalam komunikasi verbal. Dalam komunikasi verbal,
pilihan kata yang baik adalah kunci dari keberhasilan komunikasi ini. Kata-kata
membentuk realitas, sehingga mengandung kekuatan yang luar biasa.
2.2.2
Komunikasi Non Verbal
Komunikasi non verbal yaitu komunikasi
yang diungkapkan melalui pakaian dan setiap kategori benda lainnya, komunikasi
dengan gerak sebagai sinyal, dan komunikasi dengan tindakan atau gerakan tubuh5.
Komunikasi non verbal memiliki peran penting dalam melengkapi efektifitas
komunikasi berbal, terutama saat komunikasi dilakukan secara tatap muka.
Hal-hal yang dapat diperhatikan dari komunkasi non verbal adalah ekspresi mata,
kontak mata, pakaian, gaya rambut, sikap tubuh (santai, wibawa, dsb), dan masih
banyak lagi.
2.3 Komunikasi Satu dan
Dua Arah
Komunikasi satu arah adalah situasi komunikasi dimana pengirim tidak
memiliki kesempatan untuk mengetahui bagaimana penerima memberikan umpan balik
bagi pesannya. Sementara itu, komunikasi dua arah adalah situasi komunikasi
dimana pengirim cukup leluasa mendapatkan umpan balik dari pendengarnya6.
Dari dua macam komunikasi diatas, komunikasi dua arah adalah jenis
komunikasi yang paling efektif. Dengan komunikasi dua arah, akan memudahkan
terbentuknya sebuah pemahaman antara pengirim dan penerima perima pesan. Dalam
dunia kedokteran, komunikasi dua arah sangat dibutuhkan untuk bisa menentukan
diagnosis dan cara penangan yang tepat.
2.4 Transaksi dalam
Komunikasi
Dalam berkomunikasi, terjadi peristiwa transaksi yang akan tergantung
pada sikap diri (ego state) dari dua
atau lebih idividu yang berkomunikasi. Transaksi yang terjadi ada tiga macam,
yaitu transaksi imbang (complementrey
Transaction), transaksi silang (crossed
transaction) dan transaksi selubung (ulterior
transaction).
2.4.1
Transaksi Imbang (Complementary
Transaction)
Yang dimaksud dengan transaksi imbang adalah komunikasi yang terjalin
pada taraf ego state yang sama.
Misalnya antara orang tua dengan orang tua, dewasa dengan dewasa, atau
kanak-kanak dengan kanak-kanak. Transaksi ini dinilai paling sehat karena
biasanya menghasilkan respon yang sesuai.
2.4.2
Transaksi Silang (Crossed Transaction)
Transkasi silang mengakibatkan
kesenjangan dalam komunikasi karena terjadi perbedaan ego state dalam komunikasi7. Komunkasi silang lebih
sering meleset karena komunikasi yang dikirim dari dan ke ego state kurang tepat pada situasi tertentu atau karena pihak yang
diajak berkomunikasi tidak peka dan jawababnya tidak sesuai. Hasilnya respon
yang tidak sesuai justru muncul dan memicu kemarahan, persaan bersalah, ribut,
dan terkadang perilaku yang menghindar.
2.4.3
Transaksi Selubung (Ulterior
Transaction)
Dalam transaksi selubung, pesan
disampaikan oleh ego state tertentu
dan biasanya melibatkan dua atau lebih ego
state. Ada makna tersembunyi dalam komunikasi yang secara sosial dapat
diterima.
3.
Komunikasi Efektif Dokter-Pasien
Dalam dunia kedokteran, seorang dokter
bukan hanya harus pandai berkomunikasi, tetapi dokter juga harus memiliki
keterampilan untuk berkomunikasi secara efektif. Komunikasi yang efektif adalah
komunikasi yang terjadi secara dua arah, bahasa yang digunakan dalam komunikasi
adalah bahasa yang dapat diterima, terdapat unsur untuk mendengar secara aktif,
memperhatikan pesan verbal dan non verbal, serta komunikasi yang sifatnya
dewasa dengan dewasa (tidak otoriter dan tidak mengatur). Komunikasi
dokter-pasien yang efektif sangat diperlukan untuk mendapatkan informasi
sebanyak-banyaknya mengenai kondisi pasien, agar dokter dapat membuat
diagnosis, dan membantu pasien bekerja sama dengan dokter dalam proses
penyembuhan8.
Manfaat yang dapat diperoleh dari
komunikasi efektif dokter-pasien adalah: meningkatkan kesehatan jiwa, pasien
lebih patuh pada pengobatan, meningkatnya kepuasan pasien, meningkatnya
kepuasan dokter, dan pada akhirnya dapat mengurangi risiko malpraktik. Melihat
begitu banyak manfaat yang diperoleh dari komunikasi yang efektif antara dokter
dan pasien, maka jelaslah bahwa komunikasi yang efektif adalah hal yang sangat
penting dan harus diperhatikan oleh dokter dan pasien.
Apabila dalam prakteknya dokter dan
pasien berhasil berkomunikasi secara efektif dan dapat memetik manfaat-manfaat
seperti yang disebutkan diatas, maka akan menimbulkan analisa transaksionil
yang bersifat ASAS-ASAS (aku senang aman sentosa). Akan tetapi jika yang
terjadi kebalikannya dapat memunculkan sifat ASAS-ATISAS (aku tidak senang aman
sentosa), ATISAS-ASAS, bahkan ATISAS-ATISAS.
4.
Empati
4.1 Pengertian Empati
Kebanyakan orang beranggapan bahwa
empati memiliki arti dan makna yang sama dengan simpati, padahal pengertian
empati adalah seseorang menempatkan dirinya secara imajinatif pada posisi orang
lain9. Secara lebib luas, empati juga bisa diartikan sebagai
upaya dan kemampuan untuk mengerti, menghayati dan menempatkan diri seseorang
di tempat orang lain sesuai dengan identitas, pikiran, perasaan, keinginan,
perilaku, tanpa mencampur-baurkan nilai. Menunjukkan empati tidak hanya lewat
komunikasi verbal, namun juga dapat ditampilkan dalam non verbal (seperti:
genggaman tangan, mimik muka simpatik, dsb).
4.2 Keterampilan Empati
Berempati bukan hanya sekedar berbasa-basi atau bermanis mulut kepada
pasien, tetapi juga dituntut untuk memiliki keterampilan-keterampilan seperti
berikut ini: mendengarkan aktif, responsif terhadap kebutuhan pasien, responsif
terhadap kepentingan pasien, adanya usaha untuk memberikan pertolongan pada
pasien, dan dimulai dari diri sendiri.
4.3 Mendengar Aktif
Mendengar aktif bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakuan. Meskipun
demikian, mendengar aktif dapat dipelajari karena pendengar yang baik dan aktif
tidak terlahir begitu saja melainkan dibentuk memlalui proses yang tidak mudah.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa efisiensi mendengar rata-rata pada budaya
ini hanya sekitar 25 persen saja, itu artinya walaupun kita mendengar semua
kata yang diucapkan, tetapi sebenarnya kita tidak memproses semua kata-kata itu10.
Seorang dokter harus mampu mendengar aktif dengan tujuan untuk mengetahui
pemikiran, perasaan, dan keinginan yang ingin disampaikan oleh pasien. Dalam
mendengar aktif, dokter tidak hanya memperhatikan komunikasi verbal yang
disampaikan tapi juga turut mengamati aspek-aspek non verbal yang mungkin
ditunjukan oleh pasien.
4.4 Manfaat Empati
Dengan menunjukkan rasa empati terhadap pasien, seorang dokter dapat
memetik manfaat-manfaat sebagai berikut:
4.4.1
Menyokong atau meningkatkan
pertumbuhan dalam kesucian, kebajikan, kasih dan hikmat spiritual.
4.4.2
Menolong pasien untuk menjadi kuat
4.4.3
Menolong pasien untuk mandiri
4.4.4
Menolong pasien untuk melihat realitas
4.4.5
Menolong pasien untuk mendapatkan kepastian
bahwa: masalahnya adalah masalah umum, sudah diketahui penyebabnya, ada metode
perawatan, dsb.
5.
Pembahasan Kasus
Skenario B: seorang perempuan 45 tahun datang berobat ke dokter dengan
banyak keluhan sering pusing, sering sakit perut, sering lemas. Dokter kesal
karena pasien banyak keluhan dan mengemukakan keluhan tersebut secara
kanak-kanak.
Dari kasus diatas, kita bisa melihat bahwa pasien tergolong dalam ego state kanak-kanak karena caranya
menyampaikan keluhan dengan model kanak-kanak. Sayangnya disini, dokter tampak
tidak memposisikan diri sebagai ego state
kanak-kanak juga sehingga terjadi transaksi silang (Crossed Transaction). Transaksi silang ini mengakibatkan
kesenjangan dalam komunikasi. Adapun dampak dari transaksi silang adalah respon
yang memicu kemarahan, persaan bersalah, ribut, dan terkadang perilaku yang
menghindar. Dalam kasus diatas, dokter menjadi kesal yang merupakan bentuk
kemarahan akibat ketidakcocokan ego
state.
Komunikasi yang dilakukan oleh pasien tergolong dalam komunikasi verbal,
dimana pasien melibatkan bahasa atau perkataan yang disuarakan. Sementara untuk
dokter, komunikasi yang dilakukan lebih ke arah non verbal (walaupun tidak
disebutkan), karena perasaan kesal dokter mungkin hanya ditunjukkan lewat mimik
muka atau tindakan berikutnya kepada pasien. Untuk arah komunikasinya, dalam
kasus diatas lebih mengarah ke jenis komunikasi searah atau satu arah.
Komunikasi satu arah ini membuat pengirim pesa (pasien) tidak menerima umpan
balik dari pendengar (dokter).
Dalam hal empati, dokter tampak kurang memiliki sikap empati. Hal ini
dilihat dari ketidakmampuan dokter untuk memiliki beberapa keterampilan empati
seperti mendengar aktif, dan responsif terhadap kebutuhan serta kepentingan
pasien. Dokter tampak hanya sambil lalu mendengarkan pasien karena tengah
diliputi perasaan kesal (dalam kasus tidak begitu disebutkan). Padahal, seorang
dokter seharusnya mampu mendengar aktif agar mengetahui pemikiran, perasaan,
dan keinginan yang ingin disampaikan oleh pasien.
Dari beberapa pembahasan diatas, dapat dilihat bahwa dokter masih belum
mampu berkomunikasi secara efektif dan berempati terhadap pasiennya. Hal ini
akan menimbulkan analisa transaksionil yang bersifat ATISAS-ATISAS.
ATISAS-ATISAN berarti: aku (pasien) tidak senang aman sentosa – aku (pasien)
tidak senang aman sentosa. Karena semua hal tersebut, dapat dikatakan bahwa
dokter gagal membangun komunikasi efektif dan empati terhadap pasien.
Kesimpulan
Dari
pembahasan mengenai kasus seorang dokter yang kesal terhadap pasiennya yang
banyak keluhan dan kekanak-kanakan, dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadi
kegagalan komunikasi efektif dan empati antara dokter dan pasien. Kesimpulan
tersebut dapat dilihat dari hal-hal berikut ini:
1.
Dokter tidak mampu menyetarakan atau menyamakan ego statenya.
2.
Timbul transaksi silang yang mengakibatkan timbulnya kekesalan.
3.
Dokter menunjukkan sikap kekesalannya secara non verbal (walau
tidak disebutkan dalam kasus).
4.
Pasien tidak mendapatkan umpan balik dari dokter karena
komunikasi yang diberikan adalah komunikasi searah.
5.
Dokter gagal memiliki keterampilan empati dalam hal: tidak
menjadi pendengar aktif dan tidak responsif terhadap kebutuhan serta
kepentingan pasien.
6.
Timbul hasil ATISAS-ATISAS (keduanya “aku tidak senang aman
sentosa”)
Sangat
disayangkan bahwa terjadi kegagal komunikasi efektif dan empati dalam kasus
diatas. Seharusnya untuk menghindari kegagalan komunikasi empati, dapat
dilakuakan hal-hal sebagai berikut:
1.
Dokter menyetarakan atau menyamakan ego statenya dengan pasien. Dalam hal ini, kanak-kanak dengan
kanak-kanak. Bahkan lebih baik apabila dewasa dengan dewasa
2.
Transaksi yang timbul adalah imbang karena akan menghasilkan
respon yang sesuai.
3.
Pasien mendapatkan umpan baik yang seharusnya dari dokter karena
terjadi komunikasi dua arah.
4.
Dokter memiliki keterampilan empati dalam hal: mendengar aktif
dan responsif terhadap kebutuhan serta kepentingan pasien.
5.
Timbul hasil ASAS-ASAS (keduanya “aku senang aman sentosa”)
Daftar Pustaka
(5) Barata, Atep Adya. Dasar Dasar Pelayanan Prima. Elex Media Komputindo.
(10) Hegner, Barbara R.; dkk. 2003. Asisten Keperawatan: Suatu Proses
Keperawatan, Edisi
6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
(8) Sukardi, Elias; dkk. 2008. Modul Komunikasi Pasien-Dokter: Suatu
Pendekatan Holistik.
Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran ECG.
(6) Supratiknya, A. Tinjauan Psikologis: Komunikasi antarpribadi. Penerbit Kanisius.
(1,2,3,7,9) Uripni, Christina Lia;
dkk. 2003. Komunikasi Kebidanan.
Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
(4) Wong, Dona L; dkk. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong, Ed 6,
Vol 1 Wong.
Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
terima kasih ya kak
BalasHapusini sangat membantu saya dalam membuat makalah untuk PBL
thanksfull